Aku, Rapat Sekolah, dan Kang Becak


Tahun 2009, aku berusia 15 tahun. SMP kelas 9.

Aku tinggal di kampung. Sekolahku jauh dari kampungku. Sekolah SMP belum banyak di sini. Transportasi umum yang bisa digunakan hanyalah mobil kolbak, kaya gini:
Sumber : Google

Mobil kol dipasang kayu yang melintang untuk duduk, kaya gini :

1 palang kayu menampung 6 anak, dengan lebar kayu kurang dari 15 cm. Yang pantatnya besar sudah pasti susah duduk di bangku tersebut. 1 mobil kol bisa mengangkut kayanya sampai 20 anak. Anak perempuan biasanya duduk di bangku, sedangkan anak laki-laki duduk jika ada bangku kosong yang tersisa. Bahkan beberapa ada yang bergelantungan. Kurang safety sih, tapi mang supirnya nggak kebut kok. Dari kampungku, sekolah harus ditempuh dengan waktu 30 menit menggunakan mobil ini. Kalau dengan motor, bisa ditempuh selama 20 menit. Lebih singkat memang, tapi sayangnya aku nggak punya motor. Selama kelas 7 dan 8, aku pulang pergi memakai mobil kol bak. Di kelas 9 ini aku naik pangkat berkat temanku yang mengajakku untuk nebeng di motornya. Namanya Yosi.

Dalam satu semester, sekolah mengadakan 2-3 rapat orang tua. Pertama, rapat pemberitahuan UTS. Kedua, rapat pemberitahuan UAS. Ketiga, rapat kenaikan kelas. Rapat-rapat tersebut intensitasnya bisa saja berkurang, atau bertambah. Ada saatnya sekolah mengundang orang tua untuk rapat field trip / study tour, persami, naik tingkat ekskul, sampai acara camping setiap tahun tanggal 13-15 Agustus untuk memperingati hari Pramuka. Diantara acara-acara tersebut, ada kalanya orang tua diundang rapat, ada pula sekolah yang hanya mengirimkan surat pemberitahuan tanpa mengadakan rapat dengan orang tua. Di luar rapat-rapat tersebut, orang tua juga harus datang ke sekolah ketika pembagian raport dan perpisahan sekolah.

Di kelas 8 itu, orang tuaku selalu tidak pernah hadir diacara tersebut. Meminta salah satu dari mereka untuk hadir adalah hal yang nggak mungkin. Ibuku TKW, pergi ke luar negeri menjadi tulang punggungku dan Adik-adikku. Kebetulan aku mempunyai adik berumur 11 tahun dan 5 tahun. Ayahku? Aku nggak tahu beliau di mana. Aku tinggal di rumah Ibu dari Ibuku, orang menyebutnya Nenek.

Guru-guruku di SMP semuanya baik. Aku nggak pernah sedih karena nggak ada orang tua yang mewakili aku ikut rapat di sekolah. Entah karena aku Ketua OSIS atau karena aku anak baik, ada saja guru yang bisa aku ajak bicara mengenai hasil rapat. Beberapa kali aku melakukannya. Kadang work, kadang fail.

Aku juga pernah mencoba me-lobby orang tua temanku. H-2 sebelum rapat orang tua, biasanya aku iseng mengabsen siapa saja temanku yang orang tuanya akan datang. Aku akan memilih orang tua temanku yang mana yang bisa aku tanyai. Sebelum memilih, aku memperhatikan sikap temanku dengan baik. Biasanya aku memiliki beberapa kriteria. Diantaranya adalah : temanku bukan orang kepo & cuek. Aku nggak suka saat dia menanyakan sesuatu tentang, "Kenapa orang tuamu nggak pernah datang?". Ada 1 teman andalanku saat SMP. Namanya Dedep. Aku selalu mendapatkan info hasil rapat dari orang tuanya.

Aku menamatkan SMP dengan baik.

2010 aku masuk SMA. Aku memilih SMA boarding school. Alasannya simpel, aku dapat beasiswa. Sebelum kelulusan SMP, aku diikutkan try out di SMA itu oleh salah satu guruku. 2 minggu setelah hari itu, temanku memberitahuku bahwa dari 10.000 murid SMP di Kabupaten Indramayu, nilaiku berada di urutan ke 11.

Di SMA, aku hanya membayar 300.000 perbulan untuk asrama, makan, listrik, dan air. Kegiatanku dimulai dari pukul 04.00 hingga pukul 22.00. Aku akan jelaskan detailnya lain kali, dipostingan yang lain.

Selama di SMA, tentu saja ada undangan rapat orang tua. Kelas 10 aku sangat aman dari pertanyaan, "Kenapa orang tuamu nggak pernah datang ke rapat undangan orang tua?". Aku aman karena ada orang tua temanku yang sangat baik, namanya Ibu Aan Suryani. Beliau adalah Ibu dari temanku yang bernama Refisia Caturasa. Ibu Aan biasanya datang bersama A Sibi, kakak laki-laki Refi. Dibuku hadir, Ibu Aan akan menulis wali dari Refi. Sedangkan A Sibi menjadi waliku. Keluarga Refi memperlakukan aku dengan sangat baik, seolah-olah aku adalah anak perempuan mereka.

Di kelas 11, Refi pindah sekolah. Sejujurnya, aku lebih menyukai surat pemberitahuan dari pada harus menerima undangan rapat orang tua. Tapi rapat orang tua seperti biasanya selalu ada. Dan.. nggak ada lagi yang bisa aku mintai tolong. Akhirnya, aku ditanyai juga mengenai, "Kenapa orang tuamu nggak datang ke rapat orang tua?". Aku ditanyai guruku, dan temanku. Aku sebetulnya bisa saja mengatakan ke guruku, "Orang tuaku ngga ada yang bisa datang. Ibuku TKW. Aku hanya mendengar kabar bahwa Ayahku di Cikarang, tapi aku pun nggak yakin". Tapi nggak mungkin. Aku nggak mau mengundang simpati dari siapa pun, apalagi guruku. Aku khawatir guruku akan disebut pilih kasih oleh temanku yang lain. Kalau ada temanku yang menyebut guru tersebut pilih kasih, bisa dipastikan guru tersebut akan memberi pengertian kepada temanku tersebut, dengan cara menjelaskan keadaanku yang sebenarnya. Aku gamau temanku yang lain tau dan aku kena bully. Bukan cuma aku yang broken home, orang lain juga ada yang broken home. Anak broken home yang lain pun orang tuanya bisa datang, kenapa aku ngga bisa?

Lalu, di undangan rapat orang tua berikutnya, aku mendapat ide yang menurutku keren banget. Aku menyewa tukang becak. Aku menyewa tukang disekitar sekolah. Aku membayar mereka Rp 20.000; Itu lebih murah dari pada salah satu saudaraku datang ke sekolah. Kalau saudaraku datang ke sekolah, tarif bensin dari rumah ke sekolahku itu Rp 20.000; Lalu tarif bensin dari sekolah ke rumah juga Rp 20.000; Dalam 1x undangan rapat orang tua, aku harus mengeluarkan Rp 40.000 untuk biaya bensin saudaraku. Terlalu mahal untuk anak sekolah sepertiku. Anak-anak yang lain menabung uang jajan untuk membeli pulsa / baju, sedangkan aku menabung untuk menyewa tukang becak menjadi waliku.

Pada awalnya, aku melihat-lihat dari kejauhan dan memilih mana tukang becak yang keliatannya paling pintar diantara mereka. Bukan yang paling bening kulitnya, tapi yang paling pintar. Bagiku nggak masalah kulitnya bening atau gelap, yang penting pintar. Dalam artian beliau bisa menangkap materi rapat & menyampaikan padaku dengan benar. Aku juga akan memilih tukang becak sesuai perihal undangan yang tercantum. Misalnya untuk urusan olahraga, aku memilih tukang becak yang paling atletis. Kalau untuk UAS, aku memilih tukang becak yang keliatan paling intelek. Untuk acara LDK / camping, aku memilih tukang becak yang tampilannya paling simpel. Kalau susah, yaudahlah random. Yang penting ada yang ngewakili. Hahaha.

Aku juga kadang mendapat penolakan dari tukang becak tersebut. Yaiya, memang aneh. Kami nggak saling mengenal, lalu tiba-tiba diminta menjadi wali di rapat orang tua murid. Lalu aku akan bilang, "Bapak datang ke sekolah dengan pakaian rapi, nanti aku tunggu di gerbang. Aku anter ke tempat rapat, tanda tangan di buku hadir, mengikuti isi rapat, makan snack dan kue-kue yang disediakan, menyampaikan hasil rapat kepadaku, lalu pulang. Nggak perlu bercakap-cakap dengan orang tua murid yang lain. Ya anggep aja aku lagi naik becaknya Bapak, aku bayar Rp 20.000. Mau?". Ada yang mau, ada yang nggak. Kalau beliau mau, yasudah, case close. Kalau beliau nggak mau, aku harus mencari tukang becak yang lain, di pangkalan yang lain. Atau tukang becak yang lagi lewat.

Dalam 1 rapat, 1 tukang becak. Di rapat berikutnya, aku memilih tukang becak yang lain. Alasannya adalah : Aku nggak mau mendapat gangguan apapun dari tukang becak tersebut. Beliau hanya menjadi waliku, lalu sudah. Nggak ada komunikasi tambahan setelah itu. Aku juga hanya berniat mencari wali untuk undangan rapat orang tua, nggak lebih. Aku nggak ngejawab pertanyaan yang bersifat pribadi, seperti memberitahu nama asli, memberitahu alamat, atau yang lainnya.

Saat aku punya uang lebih, tentunya aku menyewa yang lebih mahal. Tukang ojek. Hahahaha. Rp 30.000 untuk 1x wali rapat. Itu masih lebih murah ketimbang harus bayar bensin saudaraku yang dari kampung. Beberapa tukang ojek lebih pintar dari tukang becak, beberapa lainnya sama pintarnya, dan beberapa lainnya nggak lebih pintar.

Aku selalu meminta Ibu dari Ibuku untuk datang, tapi beliau selalu menolak karena sekolahku terlalu jauh. Ada Ibu dari Ayahku, tapi aku nggak terlalu suka dengan beliau karena beberapa hal pribadi yang nggak bisa disebutkan. Ada Ayah dari Ayahku, tapi nggak mungkin. Beliau memiliki penyakit pendengaran.

Sekarang 2019, usiaku sudah 25 tahun. Aku nggak pernah menyangka kalau pernah memiliki pengalaman semacam ini. Setiap kali pembagian rapor, aku berpikir untuk pulang lebih awal sebisa mungkin. Aku menghindari percakapan dengan teman / orang tua murid yang lain. Temanku akan menanyakan berapa peringkatku, tapi aku bahkan nggak peduli berapa peringkat kelasku. Aku hanya ingin segera pulang, lalu menangis. Selama berkali-kali aku bagi raport, aku menandatangani sendiri raportku. Sebelum aku tanda tangani, aku biasanya mengecek nilaiku, lalu berkata pada diriku sendiri, "Kamu melakukannya dengan baik. 😊". Aku berkata pada diriku sendiri, seolah-olah itu adalah perkataan dari orang tuaku.

Aku yang belasan tahun itu selalu iri pada teman-temanku yang memiliki orang tua yang utuh, orang tua yang harmonis, orang tua yang ada secara fisik memberikan support. Tapi aku nggak menyalahkan orang tuaku, sedikit pun. Aku hanya sedih, bukan ingin menyalahkan atau menjadi dendam terhadap mereka.

Aku nulis ini karena ingin berbagi cerita. Inilah yang terjadi padaku ketika aku belasan taun dan orang tuaku nggak ada. Dan kalau kamu membaca ini sebagai orang tua, mungkin inilah yang terjadi ke anakmu kalau kamu nggak ada. Ambilah yang baik dari tulisanku ini, yang buruknya jangan diambil.

Ya begitulah. Ada quote yang keren banget yang kayanya harus aku tulis di sini. Hiduplah seperti bulu ketek, tetap tumbuh meskipun terjepit. Hahahaha. Agak gimana gitu, tapi aku suka. Bye-bye! 👋

Comments

Popular posts from this blog

Islamic Corner : Sehat Bersama Ustadz Dhanu (Ustad Danu)

(Film) Review Suka-suka Peninsula a.k.a. Train to Busan 2 (2020) : Uji Nyali di Sarang Zombie

Nonton dan Download Running Man Episode 1 - 10 Sub Indo